Senin, 03 Desember 2012

Kenakalan Remaja



Tawuran Antar Pelajar
Beberapa minggu terakhir, media massa cetak maupun elektronik di Indonesia terus diisi oleh berita-berita tentang tawuran pelajar di sebagian kota-kota besar. Keberingasan pelajar semacam ini bahkan semakin hari terlihat semakin memburuk, karena tidak lagi hanya menyebabkan luka fisik saja bagi mereka yang tawuran, akan tetapi telah sampai merenggut korban jiwa. Sungguh memperihatinkan jika mengingat pada dasarnya pelajar adalah sekelompok orang yang berada di dalam sebuah lembaga yang dipenuhi oleh norma-norma kesusilaan, akan tetapi apa yang telah mereka lakukan itu sama sekali tidak menggambarkan siapa mereka seharusnya.
Bagi masyarakat Indonesia, tawuran antar pelajar sebenarnya bukanlah suatu hal asing lagi, apalagi jika melihat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran semacam ini telah sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
Kabar terakhir yang diangkat media terkait tawuran antar pelajar adalah tawuran antara pelajar SMA N 6 dan SMA N 70 yang terjadi di sekitar KFC Bulungan, Jakarta, Senin (24/9/2012). Insiden ini berakhir dengan tewasnya salah seorang siswa SMA N 6, Alawy Yusianto Putra (15 tahun). Sebelum adanya insiden yang menyebabkan meninggalnya Alawy tersebut, kasus yang sama namun di tempat berbeda juga telah merenggut beberapa nyawa siswa. Diantaranya adalah siswa kelas 1 SMK 39 Cempaka Putih Jakarta Pusat bernama Ahmad Yani juga tewas gara-gara tawuran. Kemudian ada Jasuli kelas 9 SMPN 6 dan Deddy Triyuda siswa SMK Baskara Depok. Jika dikronologikan, korban tawuran antar pelajar berawal dari bulan Agustus, yakni Jeremy Hasibuan (SMA Kartika), kemudian bulan september ada Jasuli (SMPN 6 Jakarta), Dedi Triyuda (SMK Baskara), Ahmad Yani (SMK 39 Cempaka Putih), Alawi Yustianto Putra (SMUN 6 Jakarta) dan masih banyak lagi kalau kita runut ke belakang di masa lampau. Sungguh ironis.
Banyak hal yang perlu dijawab terkait tawuran ini. Sebenarnya mengapa tawuran antar pelajar harus terjadi? Mengapa pelajar bisa bertindak begitu brutalnya? Langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi atau minimal menekan hal ini seminimal mungkin?
Analisis mengenai tawuran antar pelajar kami mulai dari sang aktor utamanya, dalam hal ini adalah remaja pelajar yaitu anak-anak remaja yang duduk di bangku SMU. Ciri khas sosial mereka adalah memiliki solidaritas sosial atau solidaritas kelompok yang tinggi, mudah mengalami frustasi dan kekecewaan, mudah mengalami ketidaknyamanan karena lingkungan sosial fisik yang tidak menyenangkan seperti panas, bising, berjubel (Calchoun & Acocella, 1955:368-369).
Selain itu, secara instingtif manusia membutuhkan kekerasan untuk mempertahankan hidupnya. Secara psikologis, kekerasan/tawuran bisa muncul ke permukaan dalam bentuk sebuah aksi (agresi) maupun reaksi atas aksi, seperti halnya seseorang membunuh agar ia tidak terbunuh. Siapapun kita, apapun status kita, bisa melakukan tindak kekerasan ataupun tawuran, baik itu secara individual maupun secara kolektif (massal). Jika sekelompok individu melakukan kekerasan atau tawuran secara bersamaan, inilah yang disebut kekerasan kolektif, baik dilakukan oleh sekelompok remaja ataupun sekelompok orang banyak (crowd).
Bentuk aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki, menghina, mengejek dsb.) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, melempar batu, membunuh, dll.) Kekerasan kolektif ini, menurut Gustave Le Bon dalam bukunya The Crowd, identik dengan irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan individu. Kekerasan seperti ini berawal dari sharing nilai atau penyebaran isu, kemudian kumpulan individu tersebut frustasi dan akhirnya melakukan tindakan anarkis.
Dalam dunia psikologi juga dijelaskan bahwa perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi, yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. (Raymond Tambunan : 2001).
Setidaknya ada 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar, antara lain:
1.      Faktor internal. Ketidakmampuan/kurang mampunya beradaptasi dengan lingkungan sosial yang kompleks menimbulkan tekanan pada setiap orang. Terutama pada remaja yang mentalnya masih labil dan masih dalam pencarian jati diri dan tujuan hidup. Kekompleksan seperti keberagaman budaya, kemampuan ekonomi dan pandangan tidak bisa diterima sehingga dilampiaskan lewat kekerasan. Saat tidak mampu beradaptasi, rasa putus asa, menyalahkan orang lain dan memilih cara instan untuk memecahkan persoalan membuat rasa frustasi semakin mengendalikan emosi pelajar yang labil. Ketidakpekaan terhadap perasaan sesamanya mengakibatkan pelajar tega menganiaya hingga membunuh sesamanya. Sebenarnya, dalam diri mereka butuh pengakuan.
2.      Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3.      Faktor sekolah. Kebosanan di dalam ruang belajar mengajar seperti tindak belajar mengajar yang monoton, tidak mengijinkan siswa untuk bertindak kreatif, terlalu mengekang dan otoriter juga menjadi pengaruh. Sebagian besar hidup remaja juga dihabiskan di sekolah, tempat ia belajar sekaligus mengekspresikan dirinya. Tak heran jika sekolah sering disebut sebagai rumah kedua. Siswa yang bosan akan memilih untuk bersenang-senang di luar sekolah. Guru sekolah dinilai sebagai pihak otoriter yang gemar menghukum siswanya ketimbang mendidik dalam arti yang sebenarnya.
4.      Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Dari berbagai faktor pencetus lahirnya tawuran diantara para pelajar diatas kemudian dapat kita bisa tarik beberapa kesimpulan terkait tindakan apa yang akan diambil dalam mengatasi/mencegah agar hal itu tidak lagi terjadi, atau minimal bisa meminimalisir tragedi-tragedi tawuran antar pelajar di masa yang akan datang. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan antara lain:
1.      Dari diri internal. Selain mengisi hari-hari dengan belajar di kelas, diharapkan siswa dapat mengisi waktu luang di luar jam sekolah dengan hal-hal yang lebih bermanfaat, seperti berolahraga, ikut kursus, aktif di kegiatan ekstrakulikuler, dan bergabung dengan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang positif, agar kepekaan terhadap sesama dapat terus terasah.
2.      Dari keluarga. Mendidik anak secara ideal, dalam arti tidak terlalu otoriter dan lebih memberikan kebebasan pada anak, akan tetapi anak harus terus dalam pantauan dan pengawasan sehingga anak bisa lebih merasa bebas tapi bertanggungjawab. Dengan cara seperti ini anak akan bisa lebih berkembang secara positif. Kasih sayang dalam keluarga itu sendiri menjadi nilai utama dalam hal ini. Artinya dalam kondisi apapun sebisa mungkin hindari menunjukkan/mengajarkan kekerasan pada anak dalam lingkungan keluarga. Kemudian berikan waktu untuk berkumpul bersama demi dekatnya emosional dalam keluarga. Terakhir, ciptakan lingkungan yang religious di rumah.
3.      Dari sekolah. Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik yang bisa mengembangkan secara seimbang tiga potensi siswa, yaitu berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan. Pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas remaja. Dan untuk sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara “tradisional bermusuhan” itu.
4.      Dari lingkungan. Kerjasama semua pihak pemerintahan ataupun lembaga-lembaga sosial sangat diperlukan dalam mengatasi masalah ini. Menciptakan suatu lingkungan yang lebih bersih, sehat, bermoral dan religious tentu tidak bisa apabila hanya dikerjakan oleh satu dua orang saja. Semua pihak harus terlibat dalam hal ini sehingga anak-anak akan lebih terjaga dari hal-hal yang bersifat negative.
Secara garis besar keempat lini di atas harus benar-benar bekerja semaksimal mungkin ddemi terwujudnya remaja/pelajar Indonesia yang benar-benar ideal. Memang hal ini bukanlah solusi jangka pendek dan ini butuh waktu yang cukup lama, akan tetapi kami percaya apabila hal ini benar-benar dilakukan maka menciptakan pelajar Indonesia yang lebih baik bukanlah suatu hal yang mustahil. Dan sekali lagi kami ingin tekankan bahwa masyarakat Indonesia harus bersabar dan terus bekerjasama dalam mengatasi masalah ini. Semua untuk satu tujuan, menciptakan generasi yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar