Tawuran Antar Pelajar
Beberapa minggu terakhir, media massa cetak maupun elektronik di
Indonesia terus diisi oleh berita-berita tentang tawuran pelajar di sebagian
kota-kota besar. Keberingasan pelajar semacam ini bahkan semakin hari terlihat semakin
memburuk, karena tidak lagi hanya menyebabkan luka fisik saja bagi mereka yang
tawuran, akan tetapi telah sampai merenggut korban jiwa. Sungguh memperihatinkan
jika mengingat pada dasarnya pelajar adalah sekelompok orang yang berada di
dalam sebuah lembaga yang dipenuhi oleh norma-norma kesusilaan, akan tetapi apa
yang telah mereka lakukan itu sama sekali tidak menggambarkan siapa mereka
seharusnya.
Bagi masyarakat Indonesia, tawuran antar pelajar sebenarnya
bukanlah suatu hal asing lagi, apalagi jika melihat di kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran semacam ini telah sering terjadi. Data di
Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus
perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan
10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar
dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15
pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37
korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban
cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai
tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
Kabar terakhir yang diangkat media terkait tawuran antar pelajar
adalah tawuran antara pelajar SMA N 6 dan SMA N 70 yang terjadi di sekitar KFC
Bulungan, Jakarta, Senin (24/9/2012). Insiden ini berakhir dengan tewasnya
salah seorang siswa SMA N 6, Alawy Yusianto Putra (15 tahun). Sebelum adanya
insiden yang menyebabkan meninggalnya Alawy tersebut, kasus yang sama namun di
tempat berbeda juga telah merenggut beberapa nyawa siswa. Diantaranya adalah siswa
kelas 1 SMK 39 Cempaka Putih Jakarta Pusat bernama Ahmad Yani juga tewas
gara-gara tawuran. Kemudian ada Jasuli kelas 9 SMPN 6 dan Deddy Triyuda siswa
SMK Baskara Depok. Jika dikronologikan, korban tawuran antar pelajar berawal
dari bulan Agustus, yakni Jeremy Hasibuan (SMA Kartika), kemudian bulan
september ada Jasuli (SMPN 6 Jakarta), Dedi Triyuda (SMK Baskara), Ahmad Yani
(SMK 39 Cempaka Putih), Alawi Yustianto Putra (SMUN 6 Jakarta) dan masih banyak
lagi kalau kita runut ke belakang di masa lampau. Sungguh ironis.
Banyak hal yang perlu dijawab terkait tawuran ini. Sebenarnya
mengapa tawuran antar pelajar harus terjadi? Mengapa pelajar bisa bertindak
begitu brutalnya? Langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi atau
minimal menekan hal ini seminimal mungkin?
Analisis mengenai tawuran antar pelajar kami mulai dari sang aktor
utamanya, dalam hal ini adalah remaja pelajar yaitu anak-anak remaja yang duduk
di bangku SMU. Ciri khas sosial mereka adalah memiliki solidaritas sosial atau
solidaritas kelompok yang tinggi, mudah mengalami frustasi dan kekecewaan,
mudah mengalami ketidaknyamanan karena lingkungan sosial fisik yang tidak
menyenangkan seperti panas, bising, berjubel (Calchoun & Acocella,
1955:368-369).
Selain itu, secara instingtif manusia membutuhkan kekerasan untuk mempertahankan
hidupnya. Secara psikologis, kekerasan/tawuran bisa muncul ke permukaan dalam
bentuk sebuah aksi (agresi) maupun reaksi atas aksi, seperti halnya seseorang
membunuh agar ia tidak terbunuh. Siapapun kita, apapun status kita, bisa melakukan
tindak kekerasan ataupun tawuran, baik itu secara individual maupun secara kolektif
(massal). Jika sekelompok individu melakukan kekerasan atau tawuran secara bersamaan,
inilah yang disebut kekerasan kolektif, baik dilakukan oleh sekelompok remaja ataupun
sekelompok orang banyak (crowd).
Bentuk aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki,
menghina, mengejek dsb.) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, melempar
batu, membunuh, dll.) Kekerasan kolektif ini, menurut Gustave Le Bon dalam
bukunya The Crowd, identik dengan irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan
individu. Kekerasan seperti ini berawal dari sharing nilai atau penyebaran isu,
kemudian kumpulan individu tersebut frustasi dan akhirnya melakukan tindakan
anarkis.
Dalam dunia psikologi juga dijelaskan bahwa perkelahian yang
melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan
remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian,
dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi, yaitu situasional dan
sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya
situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya
muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan
pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di
dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan
kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai
anggota, mereka bangga apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh
kelompoknya. (Raymond Tambunan : 2001).
Setidaknya ada 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat
perkelahian pelajar, antara lain:
1.
Faktor
internal. Ketidakmampuan/kurang mampunya
beradaptasi dengan lingkungan sosial yang kompleks menimbulkan tekanan pada
setiap orang. Terutama pada remaja yang mentalnya masih labil dan masih dalam
pencarian jati diri dan tujuan hidup. Kekompleksan seperti keberagaman budaya,
kemampuan ekonomi dan pandangan tidak bisa diterima sehingga dilampiaskan lewat
kekerasan. Saat tidak mampu beradaptasi, rasa putus asa, menyalahkan orang lain
dan memilih cara instan untuk memecahkan persoalan membuat rasa frustasi
semakin mengendalikan emosi pelajar yang labil. Ketidakpekaan terhadap perasaan
sesamanya mengakibatkan pelajar tega menganiaya hingga membunuh sesamanya.
Sebenarnya, dalam diri mereka butuh pengakuan.
2.
Faktor
keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi
kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak.
Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari
dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan
tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan
identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan
dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang
dibangunnya.
3.
Faktor
sekolah. Kebosanan di dalam ruang belajar
mengajar seperti tindak belajar mengajar yang monoton, tidak mengijinkan siswa
untuk bertindak kreatif, terlalu mengekang dan otoriter juga menjadi pengaruh.
Sebagian besar hidup remaja juga dihabiskan di sekolah, tempat ia belajar
sekaligus mengekspresikan dirinya. Tak heran jika sekolah sering disebut
sebagai rumah kedua. Siswa yang bosan akan memilih untuk bersenang-senang di
luar sekolah. Guru sekolah dinilai sebagai pihak otoriter yang gemar menghukum
siswanya ketimbang mendidik dalam arti yang sebenarnya.
4.
Faktor
lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan
sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya
perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota
lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana
transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota
(bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk
belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang
berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Dari berbagai faktor pencetus lahirnya tawuran diantara para
pelajar diatas kemudian dapat kita bisa tarik beberapa kesimpulan terkait
tindakan apa yang akan diambil dalam mengatasi/mencegah agar hal itu tidak lagi
terjadi, atau minimal bisa meminimalisir tragedi-tragedi tawuran antar pelajar
di masa yang akan datang. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan antara
lain:
1.
Dari
diri internal. Selain mengisi hari-hari dengan belajar di kelas, diharapkan
siswa dapat mengisi waktu luang di luar jam sekolah dengan hal-hal yang lebih
bermanfaat, seperti berolahraga, ikut kursus, aktif di kegiatan
ekstrakulikuler, dan bergabung dengan organisasi-organisasi sosial keagamaan
yang positif, agar kepekaan terhadap sesama dapat terus terasah.
2.
Dari
keluarga. Mendidik anak secara ideal, dalam arti tidak terlalu otoriter dan
lebih memberikan kebebasan pada anak, akan tetapi anak harus terus dalam
pantauan dan pengawasan sehingga anak bisa lebih merasa bebas tapi
bertanggungjawab. Dengan cara seperti ini anak akan bisa lebih berkembang
secara positif. Kasih sayang dalam keluarga itu sendiri menjadi nilai utama
dalam hal ini. Artinya dalam kondisi apapun sebisa mungkin hindari
menunjukkan/mengajarkan kekerasan pada anak dalam lingkungan keluarga. Kemudian
berikan waktu untuk berkumpul bersama demi dekatnya emosional dalam keluarga.
Terakhir, ciptakan lingkungan yang religious di rumah.
3.
Dari
sekolah. Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik yang bisa
mengembangkan secara seimbang tiga potensi siswa, yaitu berpikir, berestetika,
dan berkeyakinan kepada Tuhan. Pendirian suatu sekolah baru perlu
dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut
perlu untuk penyaluran agresivitas remaja. Dan untuk sekolah yang siswanya terlibat
tawuran perlu menjalin komunikasi dan koordinasi yang terpadu untuk
bersama-sama mengembangkan pola penanggulangan dan penanganan kasus. Ada
baiknya diadakan pertandingan atau acara kesenian bersama di antara
sekolah-sekolah yang secara “tradisional bermusuhan” itu.
4.
Dari
lingkungan. Kerjasama semua pihak pemerintahan ataupun lembaga-lembaga sosial
sangat diperlukan dalam mengatasi masalah ini. Menciptakan suatu lingkungan
yang lebih bersih, sehat, bermoral dan religious tentu tidak bisa apabila hanya
dikerjakan oleh satu dua orang saja. Semua pihak harus terlibat dalam hal ini
sehingga anak-anak akan lebih terjaga dari hal-hal yang bersifat negative.
Secara garis besar keempat lini di atas harus benar-benar bekerja semaksimal
mungkin ddemi terwujudnya remaja/pelajar Indonesia yang benar-benar ideal.
Memang hal ini bukanlah solusi jangka pendek dan ini butuh waktu yang cukup
lama, akan tetapi kami percaya apabila hal ini benar-benar dilakukan maka
menciptakan pelajar Indonesia yang lebih baik bukanlah suatu hal yang mustahil.
Dan sekali lagi kami ingin tekankan bahwa masyarakat Indonesia harus bersabar
dan terus bekerjasama dalam mengatasi masalah ini. Semua untuk satu tujuan,
menciptakan generasi yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar